Dalam pertumbuhannya, sebagaimana kebanyakan pemerintahan negeri-negeri pada masa lalu, ada negeri yang kuat dan berkembang, sebaliknya adapula yang tidak mampu bertahan dan akhirnya tenggelam atau lenyap. Hal tersebut juga berlaku terhadap negeri-negeri Sigindo di Alam Kerinci, dimana tidak semua negeri Sigindo dapat tumbuh menjadi negeri yang makmur dan kuat. Bagi negeri yang tidak mampu berkembang, maka secara alamiah lenyap dengan sendirinya.
Bilamana suatu negeri Sigindo tidak dapat bertahan lagi, maka biasanya rakyat negeri tersebut akan memilih bergabung dengan negeri Sigindo lain, yaitu dengan negeri Sigindo yang lebih kuat dan makmur. Kondisi ini merupakan seleksi alamiah yang terjadi terhadap kemapanan dari suatu pemerintahan Sigindo yang tersebar di Alam Kerinci. Sehingga pada akhirnya pemerintahan Sigindo yang bertahan, memang benar-benar pemerintahan Sigindo yang telah teruji kemapanannya.
Asal-usul Sigindo
Diperkirakan bahwa sekitar abad ke 6 Masehi di wilayah Alam Kerinci, Jambi, telah terbentuk negeri-negeri yang secara terpisah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebuah komunitas masyarakat sudah barang tentu mencari pemimpin dari orang-orang yang mempunyai pengaruh dan disegani dalam kelompoknya. Biasanya mereka juga merupakan orang yang diyakini memiliki kesaktian sehingga diharapkan dapat melindungi negeri dari berbagai mara bahaya yang ditimbulan manusia, alam, binatang, maupun roh-roh jahat.
Munculnya pemimpin-pemimbin negeri baru ini diperkiranan seiring dengan pertumbuhan negeri-negeri di Alam Kerinci, yaitu sekitar abad ke 6 Masehi. Para pemimpin negeri itu, dikenal dengan sebutan Sigindo atau kepala kaum/kelompok dari suatu komunitas keturunan dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu, dimana sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan dari suatu wilayah negeri.
Sebuah negeri Sigindo terdiri atas beberapa buah dusun, dimana di dalam sebuah dusun terdapat kelompok kekarabatan masyarakat seketurunan. Pada kelompok kekarabatan ini masih terdapat lagi kelompok yang lebih kecil yaitu kumpulan dari kelompok-kelompok kekeluargaan, sedangkan strata masyarakat yang paling kecil adalah keluarga. Masing-masing strata kekarabatan mulai dari unit yang terkecil dipimpin oleh seorang kelompok yang ditunjuk dan dipilih menurut ketentuan adat yang berlaku.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk unit keluarga terkecil disebut dengan Tumbi oleh kepala Tumbi atau kepala keluarga. Kumpulan dari beberapa unit keluarga kecil (tumbi) dalam lingkup kekarabatan seketurunan disebut dengan istilah Perut, dan dipimpin oleh Tengganai. Lapisan berikutnya merupakan dari beberapa Perut disebut dengan istilah Kelebu dan dipimpin oleh kepala Kelebu yang lazim disebut sekarang dengan istilah Ninik Mamak. Sedangkan kumpulan dari kekerabatan Kelebu disebut dengan ‘luhak; atau lurah yang dipimpin oleh seorang kepala lurah yang lazim disebut dengan Depati.
Masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan kententuan adat negeri. Melalui strata kemasyarakatan di atas, segala bentuk kebijakan pemerintah negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Melalui alir sistem ini dilakukan pengendalian terhadap komponen masyarakat atau warga yang terhimpun dalam sebuah negeri Sigindo. Masing-masing pemimpin pada strata masyarakat yang terbentuk memikul tugas dan tanggung jawab membina dan mengurus anak negeri atau kaum kerabatnya.
Bila sebuah negeri Sigindo hanya merupakan sebuah dusun, maka berarti Sigindo yang memerintah hanya memerintah strata kelompok masyarakat yang berada dalam lingkup dusun itu saja. Namun apabila sebuah negeri Sigindo terdiri atas banyak dusun dibawahnya, maka Sigindo yang berkuasa berarti memerintah dan mengatur seluruh strata kemasyarakatan yang terdapat pada beberapa dusun. Makin banyak dusun-dusun yang berada di bawah sebuah pemerintahan Sigindo, menunjukkan besarnya kekuasaan seorang Sigindo.